Oleh Aldi Aditya, S.Hum., M.Hum.
Dosen Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Jenderal Soedirman
Membaca berita akhir-akhir ini tentang mobil listrik, energi nuklir dan perusahaan rintisan (start up) berbasis digital, kita tahu bahwa teknologi dianggap sebagai salah satu jalan keluar pemerintah dalam mengatasi masalah bangsa. Teknologi selalu dianggap sebagai solusi moncer. Tidak hanya itu, menguasainya juga berarti menaikkan martabat bangsa.
Namun, tampil dalam panggung teknologi dunia bukan sesuatu yang terjadi dalam pemerintahan saat ini saja. Pada masa pemerintahan Soeharto, pembangunan adalah kunci dan untuk mewujudkannya, dibutuhkan teknologi. Dalam buku Amir Sulfikar The Technological State in Indonesia (2013), teknologi yang diangan-angankan pada masa Orde Baru adalah teknologi tinggi (high technology, ‘teknologi tercanggih yang tersedia’) dalam bidang kedirgantaraan. Berkaitan dengan mimpi mencapai teknologi “tinggi” tersebut, bisa dibilang terbang menjadi kata yang penting.
Lalu, seperti apa pentingnya teknologi yang bisa membawa orang Indonesia “terbang” pada masa Orde Baru? Kita bisa melihatnya dari tiga hal.
Membuat Pesawat Terbang
Kegandrungan rezim Orde Baru terhadap teknologi tinggi (high technology) tidak lepas dari nama Habibie sebagai teknokrat terdepan di Indonesia yang mengepalai proyek kedirgantaraan saat itu. Soeharto memberikan Habibie lampu hijau untuk mengakuisisi Lembaga Industri Penerbangan Nurtanio (LIPNUR) dari militer untuk dijadikan embrio industri dirgantara baru, Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN), yang kemudian berubah menjadi Industri Pesawat Terbang Nusantara pada 1985.
Untuk mendukungnya, pertama-tama pendirian Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sebagai lembaga yang bertugas mengatur dan mengembangkan industri strategis. Lalu, untuk mendukung proyek kedirgantaraan, Krakatau Steel diintegrasikan ke dalam kelompok industri strategis agar dapat menyuplai bahan mentah penting seperti besi dan baja ke dalam industri teknologi tinggi.
Pada 1994, IPTN sukses meluncurkan pesawat produksinya, N-250 Gatotkaca, di Bandung. Nama Gatotkaca pun sangat bermakna karena diambil dari tokoh pewayangan yang kuat dan sakti, terlebih lagi bisa terbang.
Kesuksesan memproduksi pesawat N-250 juga disorot media internasional. Indonesia dipandang sebagai negara berkembang yang kuat dalam teknologi tinggi. Pemerintah pun menyasar potensi memasarkan N-250 ke negara-negara lain, bahkan sampai membuka kantor cabang IPTN di Seattle, AS, dengan menumpang di kompleks Boeing. Namun, tak lama kemudian, industri kedirgantaraan ikut tumbang bersama rezim karena krisis ekonomi 1997.
Keluar Angkasa
Angan-angan rezim Orde Baru untuk terbang tidak hanya terbatas di atmosfer bumi, tetapi juga melampauinya. Situasi yang melatarbelakanginya adalah Perang Dingin, konflik antara Amerika Serikat dan Uni Soviet yang ditunjukkan lewat perlombaan ke luar angkasa (space race). Setelah Uni Soviet meluncurkan satelit buatan manusia pertama, Sputnik 1, pada 1957, Amerika pun tidak mau kalah sehingga akhirnya bisa mendaratkan Apollo 11 di bulan pada 1969. Peristiwa tersebut menjadi tonggak penting pencapaian umat manusia.
Indonesia pada tahun 1976 pun ikut berekspedisi keluar angkasa dengan menjadi negara dunia ketiga yang pertama kali meluncurkan satelit buatan ke luar angkasa. Pidato resmi kenegaraan Soeharto pada 1975 menamakan satelit itu Palapa, dari sumpah Patih Gajah Mada yang bersumpah ingin mempersatukan Nusantara. Satelit Palapa 1 bercita-cita menjadi bagian sistem telekomunikasi yang menjangkau seluruh daerah Indonesia yang terpisah lautan.
Tidak hanya mengirim benda nonmanusia ke luar angkasa, Indonesia pun berharap bisa menerbangkan putra-putrinya. Pada 1986, Pratiwi Sudarmono dan Taufik Akbar berkesempatan menjadi orang Indonesia pertama yang pergi ke luar angkasa dengan menumpang pesawat Columbia milik NASA. Namun, kecelakaan pesawat Challenger pada Januari 1986 membuat NASA membatalkan penerbangan tersebut.
“Terbang” dalam Fiksi Ilmiah
Meski hingga saat ini belum ada orang Indonesia yang benar-benar terbang ke luar angkasa, setidaknya di dalam kisah fiksi sudah, bahkan menuju planet lain. Salah satu karya di Indonesia yang “membawa” orang Indonesia terbang ke Planet Venus adalah novelet fiksi ilmiah Jatuh ke Matahari (1972) karya Djokolelono.
Ceritanya, karena bumi sudah padat penduduk, sekelompok astronot antarbangsa melakukan ekspedisi keluar angkasa untuk menduniakan Planet Venus dengan cara membuat permukaan Venus lebih sejuk lewat pelepasan jasad-jasad renik ganggang biru-hijau di angkasa planet–metode yang benar-benar pernah ditawarkan Carl Sagan pada 1961 dalam majalah Science. Djokolelono kemungkinan besar mendengar metode ini karena pernah mengenyam ilmu astronomi di Institut Teknologi Bandung.
Sebenarnya, Djokolelono juga menulis kisah-kisah bertema petualangan keluar angkasa lainnya, seperti Getaran (1972) dan Bintang Hitam (1981). Akan tetapi, Jatuh ke Matahari unik karena secara eksplisit mengisahkan bagaimana orang Indonesia bisa bersanding dengan talenta-talenta terbaik dari bumi untuk melakukan misi antarplanet.
Anggota tim pelaksana misinya cukup beragam, yaitu dari Indonesia, AS, Jepang, dan Zaire. Mereka sangat spesial karena “terpilih di antara 5.310 kadet antariksawan”. Prestasi Sweta, si tokoh utama orang Indonesia, pun tidak main-main karena ia menduduki peringkat kedua dalam seleksi tersebut, di bawah seorang rekan setimnya dari AS.
Menduniakan, membumikan Venus (terraforming), membuatnya bisa dihuni manusia selayaknya bumi, mengandung makna penting. Dalam sebuah disertasi dari Peter Allon Schmidt berjudul Terraforming: An Investigation of the Boundaries between Science and Hard Science (2010), dijelaskan bahwa tema terraforming membentuk pandangan positif mengenai teknologi sebagai dampak kesejahteraan material dalam masyarakat modern. Terraforming berarti tiga hal, yaitu (1) budaya dan teknologi memungkinkan manusia menguasai alam dan sumber dayanya, (2) nilai-nilai budaya industri seperti efisiensi dan keteraturan, dan (3) glorification of engineers atau pemujaan terhadap insinyur, sarjana, dan genius.
Karya fiksi ilmiah Orde Baru ini jelas memosisikan manusia sebagai penakluk alam. Jagat raya besar, tetapi manusia punya potensi menguasainya, seperti yang dinyatakan dalam novel, “…ia yang kecil itu akan membuat sesuatu yang besar… yang akan memperlancar penaklukan jagad [sic] raya itu.” Bahkan, tokoh utama Sweta punya impian membeli sepetak tanah di Venus, mirip apa yang dilakukan kolonialis setelah menemukan dunia baru.
Mengapa “Terbang”?
Bandingkanlah motif bangsa untuk terbang pada novel (fiksi) dan realitas. Dalam realitas, alasan mengembangkan industri kedirgantaraan atau mengirim satelit Palapa ke antariksa adalah menghubungkan Nusantara yang terpisah oleh lautan. Sementara itu, dalam karya fiksi ilmiah Jatuh ke Matahari, alasan manusia Indonesia terbang ke Venus adalah menjadikan planet tersebut bisa dihuni manusia untuk mengatasi masalah overpopulasi di bumi.
Di dalam teks disebutkan bahwa “…penduduk bumi bisa dibagi dua sehingga mengurangi kepadatan,” dengan kata lain mengirim sebagian penduduk bumi ke Venus. Tentu saja masalah itu bergema dengan program Keluarga Berencana yang diunggulkan Orde Baru untuk mengendalikan jumlah penduduk.
Dua alasan untuk terbang itu tampak bertentangan. Yang satu, terbang untuk “menghubungkan” manusia yang terpisah lautan, sementara satunya lagi terbang untuk memastikan bahwa penduduk bumi bisa terbagi ke Venus; “memisahkan/membelah” umat manusia. Namun, kontradiksi itu tidak penting. Justru, yang harus digarisbawahi adalah pandangan bahwa masalah-masalah penting bisa diselesaikan dengan teknologi.
Menguasai teknologi terbang, baik terbang secara riil dengan membuat pesawat atau menjadi astronot maupun dalam fiksi yang mengisahkan misi ke Planet Venus, merupakan bagian cita-cita luhur bangsa Indonesia untuk ambil bagian dalam modernitas global pasca-Perang Dunia 2. yang ditandai salah satunya oleh space race. Bisa dibilang bahwa saat itu Indonesia gemar “melihat ke atas”.