Oleh : Yasin Mohammad (Founder Lembaga Survei LSI-Nusantara)
Yenny Wahid, di hari-hari menjelang pendaftaran capres dan cawapres untuk Pilpres 2024, tiba-tiba menguat namanya. Putri Gus Dur, yang bernama lengkap Zannuba Ariffah Chafsoh, muncul sebagai sosok baru diantara berderet sosok yang sudah banyak disebut, banyak disurvei, dan banyak diunggulkan. Yenny Wahid, tiba-tiba muncul sebagai “alternatif terkuat”.
Ada beberapa variabel, yang setidaknya bisa dianggap melekat pada sosok Yenny Wahid. Paling umum, Yenny Wahid adalah salah satu tokoh penting di kalangan Nahdliyin, yang dalam analisis politik elektoral di Indonesia sering dilekatkan pada suatu kekuatan pemilih yang besar dan berpengaruh.
Yenny Wahid, juga dilekatkan pada Gusdurian, sebuah gerakan sosial lintas golongan, yang eksistensinya dalam dinamika demokrasi di Indonesia, sangat diperhitungkan. Terutama, dalam gerakan-gerakan moral untuk membela keadilan diantara dua arus yang sering kontradiktif: mayoritas dan minoritas.
Variabel berikutnya adalah perempuan. Meskipun Yenny Wahid bukan satu-satunya sosok perempuan yang namanya diunggulkan dalam dinamika kontestasi politik nasional, namun daya elektoral namanya terlihat lebih unggul dibanding tokoh-tokoh perempuan yang selama ini sering disimulasikan dalam survei-survei kepemimpinan nasional.
Temuan survei yang dilakukan Dialektika Institute, yang dirilis pada Senin (11/09/2023) di Surabaya menunjukkan fenomena menarik. Nama Yenny Wahid, muncul sebagai kandidat terkuat untuk calon wakil presiden dalam pengukuran elektabilitas cawapres perempuan dengan menguji 5 nama melalui simulasi pertanyaan tertutup. Sebanyak 27,6% responden survei memilih nama Yenny Wahid sebagai kandidat calon wakil presiden, dan sebanyak 25,4% memilih nama Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa.
Survei ini, menurut Dialektika Institute, dilakukan untuk memotret wacana cawapres dari kalangan perempuan. Dan, survei ini dilakukan pada periode 1-10 September 2023 dengan mengambil wilayah regional Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Yang juga menarik selain temuan potensi elektoral melalui responden survei, adalah argumen-argumen yang disampaikan terkait dengan pilihan responden, yaitu: pilihan terhadap cawapres perempuan bisa membuka ruang politik yang pro gender, kehadiran perempuan di posisi strategis, dan pentingnya tokoh perempuan di posisi strategis untuk memperjuangkan kepentingan kaum perempuan.
Dinamika Politik di Jawa Timur
Sebuah buku berjudul Pertarungan Elite Dalam Politik Lokal, terlihat relevan sebagai bahan diskusi dalam menganalisis dinamika kontestasi politik, terutama di Jawa Timur. Buku ini ditulis oleh Dr. Abdul Chalik dengan cetakan pertama terbit tahun 2017. Pada intinya, buku ini merupakan studi penulis terhadap pemilihan kepala daerah secara langsung, yang dilakukan secara serentak pada tahun 2015. Dari 245 pilkada provinsi/kabupaten/kota, 19 diantaranya berlangsung di Jawa Timur.
Studi ini mengungkapkan bahwa secara politis, Jawa Timur merupakan kawasan dinamis. Bahkan, pada masa Orde Baru, Jatim sering disebut sebagai barometer politik nasional. Jumlah penduduk yang sangat besar dengan masyarakat muslim yang khas, sering dijadikan sebagai argumentasinya. Argumen lain, di Jawa Timur banyak kiai berpengaruh, pesantren besar dengan ribuan santri dan alumni, serta kawasan yang terus berkembang.
Menurut penulis buku ini, dinamika politik di Jawa Timur bahkan sudah tersohor sejak dahulu kala. Sejak masa Kerajaan Majapahit, atau kerajaan‐kerajaan kecil sebelum dan sesudah Majapahit. Begitu juga dengan Wali Songo. Setidaknya terdapat 5 makam para wali yang berada di propinsi ini, yang diyakini oleh umat Islam Indonesia sebagai penyebar Islam di tanah Jawa. Akibat dari para wali tersebut, muncul kerajaan Islam pertama kali yakni Demak Bintoro, dilanjutkan dengan Giri Kedaton hingga lahirnya kerajaan Mataram Islam.
Karena jasa para wali dan raja, muncul pondok pesantren dan madrasah, sebuah lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran penting dalam sejarah Indonesia modern. Tokoh‐tokoh nasional dan pergerakan nasional banyak lahir dan tumbuh di lembaga tersebut. Peran sosial pesantren merupakan jasa terbesar para wali terhadap bangsa.
Pada era moderen, kemunculan NU pada tahun 1926 dan Muhammadiyah pada tahun 1912 juga sangat terkait dengan Jatim. Era tahun 1920‐an merupakan era kebangkitan nasional yang ditandai dengan munculnya berbagai organisasi nasional baik yang berbasis Islam, nasionalis maupun sosialis. Tokoh‐tokoh nasional yang kelak menjadi perintis kemerdekaan lahir dan tumbuh di Surabaya. Demikian pula tokoh‐tokoh Islam yang kelak melahirkan Ormas NU dan Muhammadiyah juga berproses di Surabaya.
Cokroaminoto, Soekarno, Kyai Mas Mansyur, Kyai Ahmad Dahlan, Kyai Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab adalah sederet tokoh nasionalis‐religius berproses di Surabaya. Kawasan Peneleh, Nyamplungan, Ampel dan sekitarnya merupakan kawasan tempat bertemu dan memulai pergerakan nasional. Maka tidak dapat dipungkiri jika Surabaya dan Jatim selalu menjadi basis politik. Karena di kawasan inilah sejarah awal bangsa Indonesia moderen banyak ditentukan.
Perpaduan antara nasionalis‐religius merupakan salah satu ciri dari masyarakat Jatim. Nasionalis‐religius merupakan anggapan umum terhadap polarisasi masyarakat Indonesia. Mereka adalah pejuang bangsa, pejuang yang selalu memperjuangkan nasib bangsa tapi sekaligus sebagai muslim yang taat. Atau juga seorang muslim yang taat tapi sekaligus sebagai pejuang kemerdekaan dan kesejahteraan bangsa. Nasionalis menunjuk pada muslim Indonesia yang paham keagamaannya terbatas, sementara kaum religius pada muslim santri, yang konsisten menjalankan syariah.
Sejak Pemilu 1955 hingga saat ini, peta politik nasionalis dan religius sudah tergambar dengan jelas. Dalam Pemilu 1955 yang diikuti 39 peserta, NU dan Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) merupakan kekuatan besar politik yang bersandarkan pada basis massa Islam di propinsi ini. Sementara di kubu partai yang bercorak non agama, kiprah PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan PKI (Partai Komunis Indonesia) juga memiliki pengaruh yang juga besar.
Hasil Pemilu 1955 mengukuhkan keempat partai tersebut sebagai peraih suara yang signifikan. Tidak kurang dari 3.370.000 suara diraih NU, atau 34,1 % dari 9 juta suara yang dinyatakan sah. Dengan proporsi sebanyak itu, NU menguasai 20 kursi legislatif, atau 31,7 % dari total 63 kursi yang diperebutkan. Sisi lain, PNI dan PKI saling bersaing ketat di posisi selanjutnya. PKI, misalnya mampu mengumpulkan suara 23,3 %, dan merebut 14 kursi. Adapun PNI memperoleh 22,8 % atau setara dengan 14 kursi, sementara Masyumi memperoleh 11, 2 %.70.
Pada Pemilu 1971, Golkar meraih 54,9 %, sementara partai‐partai Islam yang di kemudian hari menjadi PPP meraih 39,3 %. Saat itu, kantong suara NU seperti Pasuruan, Banyuwangi, Bondowoso, Situbondo, Jember dan pulau Madura dan beberapa kabupaten di kawasan timur tidak terkuasai oleh Golkar. Namun sebelah barat yang berbatasan dengan Jawa Tengah, seperti Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Madiun dan Bojonegoro —wilayah yang sebelumnya berada dalam penguasaan PKI dan PNI, sepenuhnya dikuasai Golkar.
Pemilu berikutnya lebih banyak memaparkan kisah sukses Golkar. Pemilu 1977, misalnya Golkar meningkatkan perolehan suaranya menjadi 59,2 %, adapun PPP turun menjadi 35,9 %. Jika sebelumnya Situbondo, Bondowoso, Jember, Sampang, Sumenep, menjadi kantong PPP, kali ini justru dalam pengua‐saan Golkar. Kekuatan PPP semakin terpuruk dalam Pemilu 1982 dan 1987, utamanya sejalan dengan kebijakan NU pada tahun 1984 untuk “kembali ke Khiththah 1926” yang dengan sendirinya menjauhkan diri dari kehidupan politik, maka suara PPP tinggal 21,4 %.
Pada Pemilu 1982, 1987, 1992 dan 1997 juga tidak banyak mengalami perubahan. Hal yang sama terjadi pada Pemilu di era Reformasi. Partai yang berbasis Islam dan nasionalis berbagai rata di semua wilayah Jatim. Secara umum menggambarkan adanya keseimbangan antara nasionalis dan Islam.
Namun setelah Reformasi berjalan satu dekade, pemilahan nasionalis dan raligius dalam konteks pengurus partai sudah tidak memadai lagi. Perkembangan politik di tingkat lokal menunjukkan adanya kecenderungan yang berbeda. Masuknya tokoh pesantren, santri atau ustadz ke partai yang berbasis nasionalis mengindikasikan sudah cairnya antara batasan nasionalis dan religius. Bahkan beberapa partai secara tegas menyatakan dirinya sebagai partai nasionalis‐religius.
Yenny Wahid, Sebuah Terobosan Politik
Membaca hasil survei Dialektika Institute dan sejarah perpolitikan di Jawa Timur, setidaknya memunculkan suatu pertanyaan baru yang cukup substansial menjelang kontestasi pemilihan Presiden 2024, yaitu: Apakah kehadiran Yenny Wahid dalam kontestasi Pilpres 2024 akan menjadi faktor penentu?
Tentu, rumusan pertanyaan ini masih bisa diperdebatkan. Namun, dalam dinamika hari-hari menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024, pertanyaan ini menjadi sangat relevan. Mengapa?
Argumen yang paling sederhana adalah: nama-nama capres untuk Pilpres 2024 sudah mengerucut kepada tiga nama, atau mungkin juga 4 nama jika ada koalisi baru. Artinya, kandidat untuk calon presiden sudah tidak banyak bergeser, termasuk di dalamnya adalah elektabilitas masing-masing calon presiden yang sudah sejak beberapa bulan lalu dirilis hasilnya oleh lembaga-lembaga survei.
Berikutnya, calon wakil presiden. Hingga saat ini, dari nama-nama yang muncul, baru satu nama yang sudah mendeklarasikan diri sebagai pasangan capres-cawapres, yaitu capres Anies Baswedan dan cawapres Muhaimin Iskandar. Sementara, dua capres lainnya, masih mensimulasi nama cawapresnya: Ganjar-Sandiaga Uno, Ganjar-Erick Tohir, Ganjar-Ridwan Kamil, Ganjar-AHY, atau Prabowo-Erick Tohir, Prabowo-Ridwan Kamil, Prabowo-AHY. Sekali lagi, ini nama-nama yang masih simulasi, dan termasuk di dalamnya –sebagian– sudah ada hasil surveinya.
Nah, dari sinilah pertanyaan tentang kehadiran Yenny Wahid menjadi penting. Setidaknya, dalam konteks representasi politik, nama Yenny Wahid bisa menjadi representasi kuat NU, tempat dimana Yenny Wahid memiliki akar spritual, moral, sosial, dan bahkan politik. Berikutnya adalah perempuan, suatu variabel yang makin universal dalam proses demokratisasi di dunia. Termasuk dalam dinamika prosedurnya: pemilihan umum.
Inilah dinamika mutakhir menjelang pendaftaran calon presiden dan calon wakil presiden untuk Pilpres 2024 yang menarik untuk tidak saja dicermati. Tetapi juga dipertimbangkan dan diputuskan oleh para elit politik pengambil keputusan. Bahwa, munculnya fenomena calon wakil presiden perempuan, yang peringkat elektoralnya merujuk pada nama Yenny Wahid, tidak bisa hanya dibaca sebagai fenomena aspirasi masyarakat pemilih saja. Lebih dari itu, munculnya sosok seperti Yenny Wahid, bisa dibaca sebagai suatu kebutuhan terhadap perpolitikan nasional saat ini. Yaitu, kebutuhan terhadap sosok yang memiliki akar sosial-kultural yang kuat di masyarakat, sebagai pendamping dalam kepemimpinan nasional berikutnya.